Chimamanda Ngozi Adichie Ikon Feminis Asal Nigeria

Girls Power, Girls Speak Up

5, August 2020

Chimamanda Ngozi Adichie adalah salah satu novelis perempuan ternama. Tapi bukan hanya ini saja yang membuatnya populer. Sikapnya yang vokal pada isu-isu politik dan perempuan serta kemampuannya bicara di depan publik membuat banyak pihak mengidolakannya. Kita bisa melihat sendiri video-video Chimamanda di Youtube. Salah satunya yang berjudul The Danger of Single Story. Ia bicara mengenai representasi.

Ketika kecil, Chimamanda banyak membaca buku-buku cerita anak. Namun tokoh-tokoh dalam cerita itu umumnya adalah anak kulit putih dengan rambut pirang dan mata biru. Mereka bemain salju dan makan apel. Buku-buku cerita semacam ini membanjiri toko buku di Nigeria. Padahal Nigeria tidak bersalju dan di sana orang makan mangga bukan apel. Mereka juga berkulit gelap dan matanya tidak biru.

Buku-buku itu justru menanamkan hal yang tidak tepat dalam pikiran Chimamanda kecil. Ia mengira kalau dalam buku cerita, tokohnya harusnya orang kulit putih atau minimal ada orang asing dalam ceritanya. Bahkan Pocahontas yang merupakan tokoh sejarah nyata pun diangkat menjadi salah satu putri Disney karena kisah cintanya dengan kulit putih.

Butuh waktu bagi Chimamanda untuk menyadari bahwa sebagai orang Nigeria ia bisa menulis cerita sendiri berdasarkan hal-hal di sekitarnya. Ia tak harus berkiblat ke barat. Tokoh utamanya tak harus memiliki ciri fisik yang eurosentris. Ia menyadari betapa berbahayanya cara pandang yang sempit. Ketika kita melihat sesuatu dari satu sisi saja dan mempercayainya maka kita telah melakukan kesalahan. Kita mengira hal itulah satu-satunya kenyataan.

Chimamanda bercerita ketika ia berkuliah ke Amerika pun temannya yang berkulit putih memandang dengan kasihan. Ia dikira tidak bisa Berbahasa Inggris ataupun menggunakan kompor. Orang Afrika kerap dipandang terbelakang dan miskin. Padahal Chimamanda berasal dari keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang profesor. Ia telah terbiasa menulis sejak usia tujuh tahun yang kini menjadi karirnya saat dewasa. Bahasa Inggris adalah bahasa nasional di negaranya.

Ketika melihat karya-karya penulis asal Afrika lainnya, Chimamanda menyadari bahwa ia harus menulis ceritanya sendiri. Itulah yang kemudian menjadi inspirasi karya-karya besarnya. Tak hanya menjadi representasi sebagai seorang kulit hitam, novelnya juga peneguhan eksistensinya sebagai seorang perempuan. Bahwa seorang perempuan bisa bermimpi tinggi dan mampu meraih cita. Ia adalah perempuan dan tidak seharusnya diberi empati hanya jika memenuhi standar masyarakat.

Chimamanda mengatakan bagaimana seringnya kita berhenti berempati hanya karena seorang korban kekerasan seksual tidak memiliki profil sempurna. Alias, tidak dicap sebagai perempuan baik-baik menurut kacamata masyarakat. Ketika seseorang diperkosa, orang akan melihat bajunya. Jika bajunya panjang orang akan merasa iba. Tapi jika bajunya pendek orang akan berpikir bahwa itu salahnya. Padahal seharusnya kita tidak pilih-pilih soal empati.

Menjadi seorang feminis bukan berarti ia selalu tahu bagaimana menjalani hidup sebagai feminis. Ia mengaku bahwa kadang ia pun tak tahu apa yang harus dilakukan. Begitu pula ketika menulis novel, akan sangat tidak masuk akal bila semua tokoh di dalamnya menjalani hidup yang adil dan bermoral. Karena itulah menjadi seorang feminis bagi Chimamanda bukan berarti menulis novel yang seluruh karakternya feminis. Tentu ada karakter yang misoginis sebagai gambaran nyata di masyarakat.

Chimamanda tak hanya menjadi ikon feminis terutama bagi kaum perempuan di Nigeria. Ia juga menjadi representasi dari orang-orang Afrika. Bahwa kulit hitam bukan kelompok yang patut dikasihani karena dicap terbelakang atau miskin. Justru ketika kita memandang dengan iba maka hanya itulah yang terlihat di mata kita. Sudah seharusnya kita tidak melakukan generalisasi.

Share to

Girls Leadership Academy © 2020