Jangan Normalisasi Seksisme!

Girls Speak Up

2, September 2020

“Ya jadi perempuan, mesti bisa masak toh”
“Perempuan kok keluyuran malam-malam?!”
“Kalau kamu cantik, satu masalah dalam hidupmu selesai”
“Jadi perempuan, jangan terlalu memilih pasangan. Yang ada nanti jadi ndak laku-laku”

Pernah dengar kalimat semacam di atas ditujukan ke dirimu atau ditujukan untuk orang lain? Menurut kamu, apakah ini masalah, atau justru hal yang menurutmu lumrah saja diucapkan? Kalau kamu menganggap ini hal yang lumrah saja, nampaknya perlu ada yang diluruskan.

Kalimat-kalimat di atas dan banyak ragamnya yang sejenis, meneguhkan posisi definisi kata “seksisme” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). KBBI mengartikan seksisme sebagai penggunaan kata atau frasa yang meremehkan atau menghina berkenaan dengan kelompok, gender, ataupun individual. Unicef sendiri meletakkan seksisme sebagai prasangka dan diskriminasi jenis kelamin seseorang yang cenderung didasari stereotip gender. Pada beberapa contoh di atas, kata-katanya dialamatkan pada perempuan.

Dalam artikel Seksisme dan Sains, istilah seksisme mulai dikenal secara luas pada Women’s Liberation Movement di tahun 1960. Saat itu, para penganut teori feminis melihat bahwa tekanan terhadap perempuan sudah semakin meluas hingga pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, seksisme tidak hanya disuburkan oleh laki-laki saja, namun juga oleh sesama perempuan.

Seksisme sendiri dapat mewujud dalam banyak hal, diantaranya adalah meyakini bahwa ada gender tertentu yang lebih berharga dari yang lain, ketidakpercayaan pada orang yang bergender berbeda dengan dirinya, dan dalam misogini (kebencian dan prasangka buruk pada perempuan) dan misandria (kebencian dan prasangka buruk pada laki-laki), serta pada keyakinan bahwa kualitas gender tertentu hanya dinilai dari tampakan luarnya saja.

Seksisme bisa ditemukan di banyak tempat, dimulai dari dapur hingga ke kantor. Dapur seringkali dianggap sebagai “rumah” dan otoritas penuh dari perempuan. Olehnya, tidak heran jika perempuan dianggap sebagai orang yang harus pandai memasak. Sedangkan di kantor-kantor, tidakan seksis seperti pembedaan dalam pemberian gaji antara perempuan dan laki-laki, hingga ketimpangan dalam promosi jabatan juga masih kerap terjadi.

Kondisi semacam ini berkontribusi pada upaya melanggengkan pembatasan ruang gerak untuk perempuan, baik sebagai individu, maupun sebagai mahluk sosial. Hingga akhirnya, yang benar-benar terdampak adalah perempuan.

Pada contoh lainnya, berita-berita yang kita baca banyak yang sudah seksis sejak dari judul. Sebagai contoh, “Sudah Cantik dan Pintar, 5 Perempuan Indonesia ini Sukses jadi Pimpinan Perusahaan”. Kata cantik di awal judul tersebut menyiratkan seolah bahwa perempuan menjadi cantik saja sudah cukup. Sedangkan pencapaian profesional perempuan yang lebih erat hubungannya dengan potensi justru dianggap sebagai sebuah kemewahan yang bisa dimiliki oleh perempuan. Judul berita ini melanggengkan pandangan bahwa kualitas perempuan selain dilihat dari pikiran dan kepribadiannya, juga sangat ditentukan dari bentuk tubuh fisiknya.

Hari ini, sulit memang menghapuskan segala bentuk seksisme yang telah mengakar kuat dalam masyarakat kita. Namun kita bisa berupaya untuk berhenti menormalisasinya. Pertama-tama dengan terlebih dahulu menyadari bahwa baik perempuan dan laki-laki sama-sama bisa melanggengkan seksisme.

Selanjutnya, kita perlu memahami bahwa perempuan dan laki-laki memiliki perannya masing-masing. Namun, peran masing-masing ini tidak serta membuat perempuan menjadi lebih baik dari laki-laki, ataupun sebaliknya. Dalam semua perannya, baik perempuan ataupun laki-laki, sama-sama berharga.

Share to

Girls Leadership Academy © 2020