Mehamami Kekerasan Seksual

Girls Speak Up

12, July 2020

Pada tahun 2017, WHO menyatakan 1 dari 3 perempuan setidaknya pernah sekali merasakan kekerasan seksual dalam hidupnya. Menurut Komnas Perempuan sendiri, selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat 800%.

Hal yang menyedihkan adalah angka tersebut merupakan fenomena gunung es. Angka kasus sebenarnya jauh lebih besar. Banyak korban yang tidak melapor karena malu atau takut akibat mendapatkan intimidasi dari pelaku.

Kasus kekerasan terhadap anak perempuan paling banyak adalah inses. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, inses dapat diartikan sebagai hubungan seksual atau pernikahan yang melibatkan dua orang bersaudara dekat sehingga melanggar hukum maupun agama.

Inses misalnya dilakukan seorang bapak kepada anak, kakak kepada adik, paman kepada keponakan, dan lain-lain. Kenaikan kasus inses dari tahun sebelumnya mencapai 65%.

Sebelum memahami kekerasan seksual maka kita perlu mengetahui definisinya. WHO mendefinisikan kekerasan seksual sebagai setiap tindakan seksual, upaya untuk mendapatkan tindakan seksual, atau tindakan yang mengarahkan pada seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan tanpa memandang hubungan mereka dengan korban.

Artinya kekerasan seksual dapat dilakukan siapapun dan korbannya pun tidak terbatas. Laki-laki maupun perempuan dapat menjadi pelaku dan korban.

Kita juga perlu memikirkan faktor relasi kuasa yang banyak berperan dalam kasus kekerasan seksual. Relasi kuasa merupakan gambaran dari hubungan yang bersifat hierarki. Korban terutama perempuan seringkali merasa takut dan malu ketika mengalami kekerasan seksual karena adanya relasi kuasa.

Misalnya bila pelaku kekerasan ini memiliki jabatan, orang yang dituakan, masih terhitung keluarga, hingga orang yang memiliki status sosial lebih tinggi. Ini menyebabkan korban takut tidak dipercaya bila melapor.

Ketika membicarakan kekerasan seksual maka umumnya kita langsung menganggapnya sebagai perkosaan. Padahal kekerasan seksual sendiri memiliki beragam bentuk.

Menurut naskah akademik Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang dibuat oleh Komnas Perempuan, pelecehan seksual juga bagian dari kekerasan seksual. Pelecehan seksual ini tidak selalu berkaitan dengan tindakan fisik. Contohnya seperti cat calling.

Dalam Merriam-Webster Dictionary, catcall adalah panggilan keras atau komentar sugestif seksual yang diarahkan pada seseorang di jalan. Hal ini banyak kita temukan di Indonesia terutama yang ditujukan pada perempuan meskipun laki-laki juga bisa mengalami hal yang sama. Misalnya pelaku akan bersiul, menarik perhatian korban dengan memanggil menggunakan sebutan atau nama, hingga mengomentari bentuk tubuh.

View this post on Instagram

Girls biar kita bisa lebih waspada, yuk belajar ciri-ciri dari grooming. Menurut Psychology Today, dari seluruh kasus kekerasan seksual, separuhnya dimulai dari grooming. Pelaku membuat korban merasa nyaman dulu jadi gak merasa lagi dilecehkan. Kadang bukan cuma korban yang dimanipulasi tapi juga orang2 terdekatnya. Pelaku sering bersikap bisa dipercaya dan diandalkan. Jadi waktu kasusnya kebongkar, orang bakal berpikir ‘ah gak mungkin pelaku ngelakuin hal itu’. Pelaku umumnya bersikap baik sama korban. Misalnya jadi tempat curhat, ngasih nasehat, sampe ngobrol waktu lagi bosen. Ini bikin korban jadi merasa dekat sama pelaku. Pelaku juga berani berada dekat dengan lingkungan korban. Contohnya, akrab dengan orangtua korban sampe anggota keluarga lainnya. Korban dibikin percaya kalo pelaku ini punya alasan yang baik. Pelaku mengancam korban untuk patuh. Biasanya dengan kata-kata membuktikan perasaan sayang. Mulai dari minta foto sampe video pribadi. Terakhir, pelaku mendorong korban supaya merahasiakan aktivitas mereka. Girls jangan mau ya kalo ada yang minta PAP (dikirimin foto atau video). Apalagi kalo dia orang dewasa. Foto atau video kamu bisa disalahgunain. Jangan gampang percaya sama orang lain di internet. — #GLAIndonesia #MenjadiPemimpin #Perempuan

A post shared by Girls Leadership Academy (@glaindonesia) on

Catcall seringkali tidak dianggap pelecehan seksual karena dianggap tidak menyakiti korban secara langsung. Namun catcall tetap tidak boleh dilakukan karena menimbulkan ketidaknyamanan dan hilangnya rasa aman.

Bila kita memaklumi catcall, maka kita dapat menyuburkan rape culture. Akhirnya kekerasan seksual akan makin bertambah banyak. Berikut adalah contoh dari catcall.

“Neng, sendirian aja.”
“Senyum dong, jangan jutek-jutek.”
“Aduh mukanya cantik banget ya.”
“Mau ditemenin ga cantik?”

Komnas Perempuan mengklasifikasikan kekerasan seksual dalam 15 bentuk yaitu:
  1. Perkosaan
  2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
  3. Pelecehan seksual
  4. Eksploitasi seksual
  5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
  6. Prostitusi paksa
  7. Perbudakan seksual
  8. Pemaksaan perkawinan
  9. Pemaksaan kehamilan
  10. Pemaksaan aborsi
  11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
  12. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
  13. Penyiksaan seksual
  14. Praktik tradisi yang bernuansa seksual dan membahayakan atau mendiskriminasi perempuan
  15. Kontrol seksual

WHO sendiri menambahkan bentuk lain dari kekerasan seksual yang ditujukan pada disabilitas, anak-anak, dan korban perang. Meski demikian masih banyak negara yang belum memiliki payung hukum untuk memerangi kekerasan seksual termasuk Indonesia.

Definisi yang terlalu sempit membuat banyak pelaku bebas dan korban tidak mendapatkan keadilan. Dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak untuk dapat menciptakan dunia yang lebih aman terutama dari kekerasan seksual.

Share to

Girls Leadership Academy © 2020