Mengapa Pernikahan Anak Bermasalah?

Girls Unlimited

4, August 2020

Anak adalah pihak yang juga terlindungi hak-haknya secara konstitusional. Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Hak Anak ke dalam Undang-undang. Namun sayangnya, regulasi ini belum cukup menjamin terpenuhinya hak asasi anak secara adil di Indonesia. Misalnya dalam hal pernikahan anak yang masih jamak ditemukan.

Terkait pernikahan anak, Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan merumuskan bahwa batas minimal usia anak untuk menikah adalah 18 tahun. Sementara, oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), batas usia minimal untuk perempuan menikah adalah 21 tahun dan 25 tahun untuk laki-laki. Sedangkan dalam revisi UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, usia minimal untuk laki-laki dan perempuan menikah adalah 19 tahun.

Namun tidak hanya soal angka, pernikahan anak adalah persoalan yang berkaitkelindan dengan banyak hal, baik secara fisik, mental, sosial, maupun seksual. Unicef menekankan beberapa faktor yang kerap memengaruhi terjadinya pernikahan dini pada anak. Diantaranya adalah persoalan ekonomi, mengikuti hukum adat dan agama, tingkat pendidikan yang rendah, dan lain-lain.

Dalam kasus pernikahan anak, perempuan menjadi sangat terdampak. Jika ada banyak kasus pernikahan anak dikarenakan faktor ekonomi, maka pernikahan anak juga justru bisa menjadi penyebab terjadinya kekerasan ekonomi yang menimpa perempuan ketika telah keluarga. Selain itu, kondisi perkembangan fisik dan mental perempuan juga rentan terganggu.

Dilansir dari salah satu website kesehatan, resiko yang perlu dipertimbangkan dalam kasus pernikahan anak adalah kondisi perempuan saat menikah dan kemungkinan hamil di usia yang terbilang belia itu sendiri. Beberapa kondisi kesehatan yang mungkin terjadi dalam hal ini adalah tekanan darah tinggi dan anemia.

Pada tekanan darah tinggi, hamil di usia muda memang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya penyakit ini. Tekanan darah tinggi juga memicu munculnya penyakit lain yang akan membahayakan ibu dan bayinya. Pada kondisi yang lain, perempuan yang hamil akan mudah terkena anemia. Jika menderita ini, maka kemungkinan bayi lahir prematur bisa terjadi. Selain itu, penderita anemia juga bisa memengaruhi tumbuh kembang bayi di dalam kandungan.

Bahkan dalam salah satu penelitian, perempuan di bawah umur 18 tahun yang hamil dan melahirkan berpotensi mengalami kematian saat melahirkan. Hal ini disebabkan karena kondisi fisik perempuan yang belum matang. Tidak hanya itu, kondisi panggul perempuan yang hamil di bawah umur 18 tahun masih sempit, sehingga dapat menyebabkan bayi meninggal ketika dilahirkan.

Selain resiko kesehatan fisik, resiko kesehatan mental juga menghantui persoalan pernikahan anak. Misalnya, tekanan mental yang dapat dihadapi oleh anak dikarenakan wajib menjalankan peran sebagai orang tua yang kompleks.

Selain itu, pernikahan anak didominasi oleh relasi yang timpang antara perempuan dengan calon suami ataupun keluarganya. Relasi yang timpang ini dapat memperpanjang kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kondisi semacam ini, persoalan mental lainnya yang dialami oleh perempuan adalah depresi dikarenakan takut dan lebih sering memilih untuk diam saat mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan ini juga tidak hanya dialami oleh perempuan sebagai istri dan ibu, melainkan juga bisa terjadi pada anak.

Fakta lain yang menyesakkan adalah anak-anak yang tumbuh dengan melihat atau merasakan kekerasan dalam keluarganya juga berpotensi mengalami resiko gangguan pada kesehatan mental hingga ke persoalan dalam kehidupan sosialnya.

Kompleksnya persoalan pernikahan anak ini membuat kita perlu merefleksi banyak hal. Pernikahan seharusnya adalah tentang kematangan dan kedewasaan dalam aspek psikologis, biologis, ekonomi, sosial, hingga spiritualitas.

Artikel Oleh: Ayu Adriyani

Share to

Girls Leadership Academy © 2020