Perempuan dan Jurnalistik

Girls Unlimited, Youth Articles

7, September 2020

Jurnalistik merupakan sebuah kegiatan atau aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Jurnalistik merupakan kegiatan yang memingkinkan pers atau media massa bekerja dan diakui eksistensinya dengan baik. Aktivitas ini dilakukan oleh seorang wartawan atau jurnalis.

Jurnalis adalah seseorang yang melakukan kegiatan jurnalistik atau orang yang secara teratur menuliskan berita berupa laporan dan tulisannya dikirimkan atau dimuat di media massa secara teratur. Menjadi seorang jurnalis merupakan suatu pekerjaan yang memiliki banyak manfaat, kita bisa bertemu orang penting, berpetualang ke tempat baru, memperluas wawasan, membuat kita berpikir kritis, selain itu kita juga berperan sebagai media untuk menambah wawasan masyarakat. 

Namun tidak ada pekerjaan yang mudah, pun menjadi seorang jurnalis. Selain dibutuhkan keberanian, jadi jurnalis juga membutuhkan komitmen dan passion untuk menyalurkan berita yang akurat dan layak dikonsumsi masyarakat luas. Mencari berita di lapangan bukanlah perkara yang mudah terkadang seorang jurnalis harus menunggu hingga pagi demi sebuah berita, rela berpanas-panasan dan kehujanan, berdiri di tengah kerumunan orang yang berdemonstrasi, juga memberitakan ditengah bencana alam yang tengah terjadi. Tak ayal pekerjaan ini sering dianggap sebagai pekerjaan pria karena beratnya praktik di lapangan. 

Hal ini justru menjadi tantangan bagi para jurnalis perempuan di luar sana. Jurnalis perempuan kerap dipandang sebelah mata. Banyak orang meragukan kredibilitas seorang jurnalis perempuan hanya karena merasa perempuan itu lebih emosional dan lemah lembut, dan kurang bisa berpikir kritis terhadap isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan. Namun hal ini tidak sepenuhnya benar. Meskipun begitu, pada kenyataannya tidak sedikit perempuan memilih menjadi jurnalis sebagai pekerjaannya. Jika kita melihat dari garis sejarah, banyak perempuan-perempuan hebat yang berprofesi sebagai jurnalis, karya tulisan dan berita yang mereka bawakan sungguh kuat dan dapat menggugah para pembaca.

Sebut saja Roehana Koeddoes, jurnalis perempuan pertama di Indonesia yang lahir di masa yang sama dengan Ibu Kartini. Roehana merupakan perempuan yang mempunyai komitmen kuat pada pendidikan terutama kaum perempuan. Hobi menulis Roehana berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu. Dimana Sunting Melayu merupakan surat kabar peremmpuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur, dan penulisnya adalah perempuan.

Ia mendapat julukan sebagai Perintis Pers Indonesia oleh Menteri Penerangan, Harmoko pada 9 Februari 1987. Selain itu pada masa kini, kita bisa melihat sosok seorang Najwa Shihab sebagai salah satu jurnalis perempuan yang memiliki pengaruh besar di dunia jurnalistik di Indonesia. Kiprahnya di dunia jurnalis tidak diragukan lagi. Sikapnya yang kritis membuat anak ulama ternama Quraish Shihab ini disegani banyak orang. Banyak penghargaan yang telah diraih Najwa Shihab dalam bidang jurnalistik, seperti memperoleh penghargaan PWI Pusat dan PWI Jaya pada tahun 2009 untuk laporan-laporannya saat bencana tsunami melanda Aceh, dimana liputannya dinilai dapat menggugah kepedulian dan empati masyarakat luas terhadap tragedi tersebut. 

Peran perempuan dalam profesi jurnalis di masa sekarang masih menjadi perbincangan di kalangan masyarakat. Hal ini menjadi salah satu pembahasan yang dibahas pada acara Seminar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia, di Padang pada 7 Februari 2018 lalu. Stanley Adi Prasetyo, selaku Ketua Dewan Pers mengungkapkan bahwa peran jurnalis perempuan belum optimal dalam menentukan arah pemberitaan media, menurutnya jurnalis perempuan belum memberikan perhatian lebih kepada isu-isu terkait dengan perempuan, atau memberikan perspektif gender dalam peliputannya.

Beberapa jurnalis perempuan pun angkat bicara mengenai hal ini, contohnya seperti Amanda Komaling, pengurus Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, berpendapat jika perjuangan jurnalis perempuan juga dibutuhkan di rapat-rapat redaksi, dimana isu mengenai perempuan dan anak terkadang dianggap tidak terlalu menarik. Ketika bekerja di lapangan, jurnalis perempuan harus mampu berkerja setara dengan kelompok jurnalis pria. Lalu menurut Khairiah Lubis, pendiri Forum Jurnalis Perempuan Indonesia menyayangkan media yang masih banyak menjadikan perempuan sebagai komoditi sehingga perempuan yang bekerja di media harus ekstra bekerja keras untuk menyadarkan medianya agar punya perspektif perempuan.

Kita sebagai agent of change, entah itu perempuan atau laki-laki, sudah seharusnya peka terhadap isu-isu kemanusiaan dan kesetaraan gender seperti ini. Peran perempuan sama dengan peran laki-laki di dunia ini. Begitu juga di dalam bidang jurnalistik, suara perempuan sama pengaruhnya dengan suara laki-laki. Sudah saatnya kita memberi kesempatan kepada para perempuan untuk mengutarakan pendapatnya, dan didengar di mata dunia. Sungguh disayangkan setelah sekian lama ibu Kartini memperjuangkan emansipasi perempuan di masa penjajahan dahulu tapi tidak diterapkan dan tidak dimanfaatkan di masa kini. 

Daftar pustaka:
Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto. Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya

Share to

Girls Leadership Academy © 2020