Photo via masslive.com

Perempuan dan Perdamaian Dunia

Girls Power, Youth Articles

28, August 2021

Meskipun pelibatan perempuan dalam proses pembangunan perdamaian telah mendapatkan momentum dalam diskusi kebijakan selama 15 tahun terakhir, jumlah perempuan dalam posisi pengambilan keputusan masih relatif kecil.

Terlalu sering orang mengabaikan apa yang perempuan lakukan dalam menggerakkan koeksistensi damai dalam skala kecil maupun skala besar. Para peraih penghargaan Nobel Perdamaian menjadi panutan menonjol dan menginspirasi banyak orang dengan keberanian mereka.

Sejauh ini ada 135 peraih penghargaan Nobel Perdamaian, namun hanya 17 perempuan yang meraih penghargaan tersebut. Padahal tidak diragukan lagi, jauh lebih banyak perempuan yang bekerja untuk perdamaian yang pantas mendapatkan penghargaan.

Perdamaian dapat tercipta dan akan berkelanjutan apabila melibatkan peran perempuan dalam proses praktiknya. Malala Yousafzai merupakan aktivis perempuan asal Pakistan menjadi contoh penting bagaimana perempuan turut serta dalam membangun perdamaian dunia.

Perempuan melakukan pekerjaan inovatif untuk keadilan, perdamaian dan keamanan. Namun, mereka eksistensi mereka selalu dikesampingkan dalam proses perdamaian formal. Keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian penting untuk kesuksesan jangka panjang.

Partisipasi setara gender berkontribusi pada perdamaian yang lebih lama dan langgeng. Negara-negara yang baru keluar atau sedang dalam konflik kekerasan dapat menjadi tempat potensial perubahan positif bagi perempuan.

Dampak mendalam akibat terjadinya perang terhadap peran gender termasuk partisipasi perempuan dalam pekerjaan yang sebelumnya dianggap hanya oleh laki-laki terkadang dapat menciptakan celah baru bagi perempuan untuk mempengaruhi struktur sosial dan politik. Perempuan termarjinalkan dari proses sosial dan politik yang dilakukan oleh pemerintahan.

Perempuan merupakan agen penting menciptakan stabilitas dalam kehidupan dalam berkeluarga dan mempromosikan rekonsiliasi dan perdamaian bahkan dalam masa sulit dan traumatis.

Perempuan pada umumnya tetap absen dari dialog kebijakan pemerintah mengenai isu-isu kritis untuk proses perdamaian dan keamanan yang memiliki dimensi gender yang mendasar untuk implikasi yang berkelanjutan. Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSCR 1325) diadopsi pada tahun 2000 untuk pemberdayaan perempuan sebagai pembangun perdamaian dalam situasi konflik dan pasca konflik, namun sebagian besar komitmennya belum juga dilaksanakan.

Di Afrika dan Timur Tengah yang merupakan wilayah konflik, perempuan telah memainkan peran penting dalam proses perdamaian. Di Afrika, seperti di Sudan dan Burundi, perempuan memainkan peran penting sebagai penjaga budaya dan pengasuh keluarga, namun pada saat konflik mereka tidak terwakili di meja perundingan perdamaian atau dalam upaya rekonstruksi komunitas.

Menurut UN Women, badan PBB yang mempromosikan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, perempuan merupakan kurang dari 10 % negosiator perdamaian global dan hanya 3 % menandatangani perjanjian perdamaian. Gagasan stereotip tentang gender, partisipasi perempuan dalam pekerjaan yang berhubungan dengan perang diabaikan ketika proses demobilisasi dan reintegrasi di Afrika di mulai.

Dikutip dari Peace Building Initiative, menerapkan proses pembangunan perdamaian yang berkelanjutan memerlukan dua aspek utama. Dua aspek tersebut yakni :

1. Mengakui peran perempuan sebagai pembawa damai dam pembangun perdamaian di komunitas mereka

Perempuan sering dikecualikan dalam pembangunan perdamaian dan hanya sering dianggap sebagai korban perang. Padahal peran perempuan mungkin bisa atau dapat berkembang secara signifikan selama perang. Mereka mampu menganalisis situasi dan mengerti apa yang menjadi kebutuhan untuk saat ini.

Selain di dalam rumah yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap keluarga, mereka juga turut serta dalam memikirkan kelangsungan dan keamanan masyarakat di lingkungannya.

Perempuan tidak hanya menyerukan masalah khusus untuk diri mereka sendiri tetapi juga mengangkat masalah yang mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan, dari seruan reformasi tanah dan wilayah, akses ke pinjaman dan pembangunan kapasitas. Untuk itu, penting ditekankan bahwa harus diakui adanya partisipasi dari mereka dalam lingkup nasional maupun internasional.

2. Memastikan bahwa kebutuhan wanita terpenuhi

Kegagalan dalam melibatkan perempuan dan anak perempuan dalam pengambilan keputusan menimbulkan kekhawatiran dan risiko perlindungan terhadap mereka tidak dibahas dalam forum masyarakat luas dan juga di ranah pemangku kepentingan. Akibanya, timbul minimnya keamanan terhadap mereka dan akses ke layanan publik juga menjadi buruk.

Akan ada ancaman seperti hilangnya perlindungan dan hak asasi perempuan, terutama hak-hak ekonomi dan sosial perempuan. Oleh karenanya, dibutuhkan perhatian penuh terhadap partisipasi perempuan dan refleksi perspektif gender dalam perjanjian perdamaian guna memastikan adanya jaminan atas kesepakatan mendukung partisipasi setara perempuan dalam rekonstruksi masyarakat pasca-konflik dan dalam pencegahan konflik di masa depan.

Absennya perempuan dalam proses perdamaian dan kegagalan perjanjian perdamaian untuk mempromosikan kesetaraan gender dapat menyebabkan berlanjutnya diskriminasi terhadap perempuan terus terpinggirkannya dalam pembangunan kembali masyarakat pasca-konflik.

Dua aspek utama diatas menjadi acuan penting bagaimana kunci menyelaraskan perempuan dan perdamaian. Bagaimanpun kelangsungan perdamaian dan keamanan dunai adalah tugas semua orang terlepas dari gender. Kita semua harus bekerja sama dalam merumuskan kebijakan perdamaian dunia.

Share to

Contact Us

  • 08119450033
  • [email protected]
    • Gedung Menara Duta, Lantai 2.
    • Jl. HR. Rasuna Said, Kav b9, Kuningan, Jakarta Selatan 12910 Indonesia

Girls Leadership Academy © 2020