Photo: Tyrone Siu/Reuters

Piawai Tangani Pandemi Ala Pemimpin Perempuan Dunia

Youth Articles

15, September 2020

Kecakapan seorang pemimpin banyak berpengaruh pada penanganan pandemi di suatu negara. Ternyata, dari beberapa negara yang dipimpin perempuan, mereka dianggap piawai dan berhasil dalam mengatasi kondisi pandemi. Keberhasilan ini cukup menarik perhatian, karena persentase perempuan yang menjadi pemimpin negara masih tergolong kecil, yaitu 7% dari jajaran kepemimpinan dunia.

Tentu faktor dalam menentukan keberhasilan manajemen wabah suatu negara tidak hanya dipengaruhi apakah pemimpinnya perempuan atau laki-laki. Namun, terdapat gaya kepemimpinan unik yang tampak dari sosok pemimpin perempuan. Nah, ternyata pemimpin perempuan cenderung memiliki gaya komunikasi yang lebih bersahabat dan empatik. Senada dengan hal tersebut, Profesor Sosiologi New York University menjelaskan bahwa pemimpin perempuan bisa menunjukkan sosok yang tegas sekaligus memiliki sifat keibuan dan naluri untuk melindungi.

Menghadapi masa pandemi yang penuh ketidakpastian hingga lahirnya perubahan pada tatanan masyarakat seperti adanya protokol kesehatan, membuat sosok-sosok hebat ini adalah bukti bahwa perempuan mampu menjadi sosok pemimpin yang cakap. Mulai dari pemimpin Selandia Baru, Taiwan, Jerman, hingga Islandia. Ada juga pemimpin negara Denmark, Norwegia, dan Finlandia. Masing-masing pemimpin perempuan ini memiliki berbagai kebijakan dan pendekatan kepada masyarakatnya yang beragam demi menekan korban dan penyebaran virus Covid-19. Apa saja ya yang bisa kita pelajari dari kepemimpinan perempuan hebat tersebut?

Tangkas, Jelas, dan Tegas

Berkat kepiawaian dan ketangkasan Presiden perempuan Taiwan, Tsai Ing Wen, walau berdekatan dengan Cina, angka penyebaran dan kematian akibat Covid-19 di Taiwan dilaporkan jauh lebih rendah dibanding negara tetangganya. Belajar dari pengalaman masa lalu, Taiwan jadi lebih siap ketika wabah di Wuhan terjadi. Taiwan memiliki National Health Command Center (NHCC) yang didirikan saat SARS 2003. Di dalamnya, terdapat Pusat Pengendalian Wabah Terpadu (CECC) yang segera diaktifkan kembali pada 20 Januari 2020.

CECC kemudian memperkenalkan dan mengimplementasikan ke masyarakat Taiwan 124 tindakan dalam lima minggu pertama saat wabah. Diantaranya dengan mengeluarkan larangan perjalanan, menggenjot produksi 4 juta masker wajah tiap hari, hingga membekuk penyebaran hoaks dan disinformasi yang disengaja.

Berbeda dengan yang dilakukan Kanselir Jerman, Angela Merkel, sejak awal beliau dengan tenang, tanpa ditutup-tutupi dan detail memberi penjelasan kepada masyarakatnya bahwa Covid-19 merupakan penyakit serius yang akan menginfeksi hingga 70 persen populasi. Hal ini membuat masyarakatnya tidak menyepelekan keberadaan virus ini. Pengujian kepada masyarakat juga dimulai sedari dini. Sehingga, Jerman tidak melalui fase penyangkalan, kemarahan, dan ketidakjujuran seperti yang ada di negara-negara lain.

Sementara, Jacinda Ardern, Perdana Menteri New Zealand, secara tegas menangani pandemi sejak awal dengan menerapkan karantina mandiri bagi orang-orang yang baru memasuki New Zealand. Lalu, dua pekan kemudian, Ardern mengeluarkan kebijakan lockdown ketika belum ada kasus kematian. Ardern juga menjelaskan dengan rinci mengapa negara menerapkan tingkat kewaspadaan maksimum. Beliau juga melarang orang asing masuk ke negaranya beberapa waktu setelah itu. Kebijakan-kebijakan Ardern berbuah baik karena hingga pertengahan April, di New Zealand hanya terdapat sedikit kasus kematian akibat Covid-19 dan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintahannya ada di atas 80 persen.

Serupa, Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, secara tegas juga memberlakukan penutupan perbatasan dengan negara-negara Skandinavia, menutup semua institusi pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga universitas serta melarang adanya pertemuan dengan lebih dari 10 orang. Mette juga memberikan peringatan dan instruksi dengan jelas kepada masyarakatnya.

Memanfaatkan Kecanggihan Teknologi dan Terapkan Sains

Perdana Menteri Islandia, Katrin Jakobsdottir, memanfaatkan teknologi dengan menyediakan layanan tes corona gratis kepada seluruh masyarakat. Data yang diperoleh kemudian digunakan untuk mendalami penyebaran dan tingkat fatalitas secara faktual. Hal ini memang menjadi sangat mungkin dilakukan karena jumlah penduduk Islandia yang sedikit. Sebagai gambaran, jika dibandingkan dengan DKI Jakarta maka populasinya 26 kali lebih banyak dibanding Islandia (data 2010).

Hal serupa juga dilakukan Kanselir Jerman, Merkel melakukan uji tes swab sejak awal secara besar-besaran. Selain itu, Merkel menjelaskan secara saintifik dengan menggunakan observasi model bagaimana kebijakan physical distancing dapat membantu menghambat penyebaran virus.

Rangkul Penuh Cinta Segala Usia

Beberapa pemimpin perempuan negara-negara di dunia memanfaatkan berbagai media untuk bisa berinteraksi, komunikasi dan merangkul masyarakatnya meski secara tidak langsung. Erna Solberg, Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg menghadirkan ide yang inovatif menggunakan televisi untuk berbicara dengan anak-anak di negaranya. Pada konferensi pers khusus anak-anak tersebut orang dewasa tidak diizinkan turut mengambil peran. Solberg menjawab pertanyaan anak-anak dari berbagai penjuru negerinya, beliau juga menjelaskan bahwa tidak apa-apa untuk merasa takut pada kondisi saat ini. Banyak pihak yang takjub dengan apa yang dilakukan Solberg ini.

Adaptasi dengan perkembangan zaman saat ini, Sanna Marin, Perdana Menteri Finlandia merangkul influencer milenial yang banyak di media sosial untuk menyebarkan edukasi tentang Covid-19. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa masyarakat kini tidak semua menonton televisi maupun menikmati media massa lainnya.

Mendengarkan Berbagai Pihak

Mendengarkan berbagai masukan dan informasi menjadi kemampuan yang penting dimiliki bagi seorang pemimpin. Merkel, Kanselir Jerman, melakukannya dengan mempertimbangkan berbagai sumber informasi yang berbeda dalam mengembangkan kebijakan terkait coronavirus, termasuk model epidemiologi; data dari penyedia medis; hingga bukti dari program pengujian dan isolasi di Korea Selatan. Akibatnya, meski jumlah kasus infeksi di Jerman termasuk tinggi secara global, namun angka fatalitasnya tergolong rendah dibandingkan dengan negara Eropa lainnya.

——————–
Wah, banyak sekali ya lesson learned yang bisa kita petik dari berbagai kiprah pemimpin perempuan di dunia dalam menghadapi pandemi saat ini. Nah, semoga dari artikel ini bisa memompa semangat kita untuk menjadi pemimpin perempuan yang membawa dampak positif ke sekitar ya, girls!

Referensi:

Share to

Girls Leadership Academy © 2020