Kampanye Nama Baik Kampus Bukti Kekerasan Seksual yang Masih Langgeng

Girls Speak Up

5, August 2020

Sebuah kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus kembali terbongkar. Pelaku merupakan mahasiswa Univesitas Hasanuddin bernama Yusril. Korban sudah melapor ke dekan atas pelecehan secara verbal yang dilakukan pelaku. Laporan korban ini membuat korban lain buka suara. Melalui akun Twitternya ia menceritakan telah mendapatkan pelecehan secara fisik maupun verbal ketika menjalani KKN bersama pelaku. Pelaku mengintip, menyentuh, hingga meneror teman perempuannya melalui chat.

Padahal belum lama ini sebuah kasus kekerasan lain terbongkar. Pelakunya adalah Gilang Eizan, mahasiswa Sastra di Universitas Airlangga. Namun korbannya sendiri tidak hanya mahasiswa di kampus yang sama. Gilang kerap mencari korbannya melalui media sosial dengan mengaku mencari responden untuk penelitian. Pihak kampus mengaku kesulitan menghubungi keluarga Gilang. Polisi telah menangkap pelaku yang dikenal memiliki fetish kain jarik ini.

Alasan yang sama dipakai oleh Bambang Arianto dalam menjerat korbannya. Ia adalah alumni Universitas Gadjah Mada dan sedang melanjutkan pendidikan di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Bambang juga memanfaatkan media sosial dengan masuk ke dalam grup alumni kedua kampus tersebut. Bila Gilang mencari korban laki-laki maka Bambang mencari korban perempuan. Ia mengaku melakukan pelecehan karena fetishnya terhadap perilaku swinger (bergonta-ganti pasangan).

Semua kasus di atas terbongkar kurang dari 30 hari terakhir. DPR sudah mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 karena menganggap pembahasannya sulit. Padahal kalau harus jujur bukankah menjadi korban lebih sulit? Kalau kita merujuk pada kasus Gilang dan Bambang, maka korbannya tak terhitung. Mereka telah melakukan pelecehan seksual selama bertahun-tahun. Diperikirakan korban Bambang mencapai 300 orang. Angka sebesar ini nampaknya masih tidak mampu membuat RUU PKS disahkan.

Masalah mengenai kekerasan seksual di lingkungan kampus tak hanya terjadi dari sisi hukum yang lemah. Sayangnya masih banyak kampus yang melindungi predator. Kita bisa merujuk pada kasus Sitok Srengege di Universitas Indonesia (2013), Hardika Saputra di Universitas Gadjah Mada (2017), FY dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang (2019), hingga X dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (2016).

Para korban justru mendapatkan bermacam masalah. Misalnya pelaku yang tidak dipenjara walau korban terbukti diperkosa dan bahkan melahirkan. Korban juga ada yang diintimidasi seperti mendapat nilai jelek, diancam dikeluarkan dari kampus, sampai disalahkan. E, salah satu mahasiswi di Bandung mengaku ia diintip office boy ketika menggunakan toilet. Ketika lapor ke kampus ia justru disuruh memafkan. “Kasihan, nanti kehilangan pekerjaan.” Ini artinya menurut kampus lebih baik memastikan pelaku tetap bekerja dibandingkan memastikan keamanan korban.

Pada tahun 2019 Vice Indonesia, The Jakarta Post, dan Tirto.id bekerja sama dalam kampanye “Nama Baik Kampus”. Ketiga media ini berupaya menyibak fakta mengenai langgengnya kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Berdasarkan penelusuran, dari formulir yang diisi oleh para penyintas sejak Februari hingga Maret 2019 diketahui ada 174 kasus. Hal ini terjadi di 79 perguruan tinggi di 29 kota. Kasus paling banyak terjadi di Yogyakarta dan Semarang.

Bukan berarti di luar 79 perguruan tinggi itu tidak ada kasus kekerasan seksual. Ini adalah fenomena gunung es sehingga angka sebenarnya jauh lebih besar. Korban tidak lapor bukan karena tidak yakin bahwa yang ia alami salah. Tapi korban menyadari bahwa hukum tidak berpihak. Contohnya sebuah perguruan tinggi di Bogor di mana mata kuliah gender tersedia. Mempelajari kesetaraan gender bukan berarti kampus itu bebas dari kekerasan seksual. Salah satu dosennya senang mencium dan memeluk mahasiswa. Namun dosen-dosen lain malah tutup mata.

Masih di kampus yang sama, bahkan terjadi kasus kekerasan seksual yang menyebabkan korban hamil. Namun kasus tersebut ditutupi demi menjaga nama baik kampus. Kampus yang peringkatnya terus menurun di jajaran universitas terbaik di Indonesia ini masih mempekerjakan dosen yang melakukan kekerasan tersebut. Tidak ada sanksi yang diberikan karena dosen yang bersangkutan masih mengajar dan mendapatkan proyek-proyek penelitian. Korban dikeluarkan dari kampus.

Di kampus lain, masih di kota yang sama, terjadi kasus kekerasan seksual yang berbeda dari kasus-kasus lain yang dilaporkan. Korbannya adalah staf pengajar. Namun kampus malah melakukan intimidasi pada korban. Mulai dari menghalangi korban lapor, menyalahkan korban, hingga tidak memedulikan laporan korban. Bahkan korban ditekan karena dianggap harus bertanggung jawab atas masalah yang menimpanya.

Ketiga media ini lalu menanyakan kepada Ismunandar mengenai bagaimana pandangan kementrian mengenai kasus kekerasan seksual yang marak di perguruan tinggi di Indonesia. Ismunandar, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti (kini kembali di bawah Kemendikbud) tak pernah membalas pesan tersebut. Bahkan walaupun ribuan mahasiswa telah berdemo nampaknya kampus-kampus masih bergeming tak mau melakukan perubahan.

Nampaknya baru Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta saja yang memiliki aturan mengenai kekerasan seksual, perundungan, dan intimidasi. Langkah ini tidak terlihat membuat kampus lain termotivasi mengambil langkah serupa. Unair sendiri dipuji karena menyatakan Gilang sebagai pelaku dalam siaran pers-nya. Akan lebih baik lagi bila Unair juga mengambil langkah seperti IKJ dalam membuat peraturan khusus untuk mencegah kekerasan seksual terulang kembali.

Menurut data Kementrian Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan Amerika, 1 dari 5 perempuan mengalami kekerasan seksual di kampus. Perempuan menjadi lebih rentan bila ia adalah mahasiswa baru. Hal ini berkaitan dengan relasi kuasa yang timpang. Perempuan-perempuan yang baru memasuki dunia kampus ini dipandang tidak tahu apa-apa sehingga dimanfaatkan oknum kakak kelas atau dosen. Kekerasan seksual juga lebih rentan pada kelompok minoritas seksual.

Envisage International, lembaga marketing di bidang pendidikan, mengungkapkan fenomena kekerasan seksual di dua negara. Di Australia para korban kekerasan seksual umumnya disuruh memindahkan jadwal kuliah agar tidak bertemu dengan pelaku. Bahkan statistiknya lebih buruk lagi dibanding di Amerika. Satu dari dua mahasiswa mengaku dilecehkan. Sementara 1 dari 15 mahasiswa mengaku mengalami kekerasan seksual seperti perkosaan.

Laporan menunjukkan kondisi di Kanada tidak jauh berbeda. Bahkan di Universitas British Columbia dilaporkan kasus kekerasan seksual yang jumlahnya tak terhitung dan tak terselesaikan. Kasus menguap begitu saja tanpa kepastian adanya keadilan pada korban. Ini tak hanya merusak harga diri korban tapi juga membuat proses mengenyam pendidikan jauh lebih sulit. Korban terpaksa bertemu dengan pelaku karena berada di bawah satu institusi selama masa studinya.

Kekerasan seksual walau hanya pelecehan seperti siulan saja tidak boleh dianggap remeh. Bahkan walau hanya secara verbal atau pandangan mata saja sudah merupakan bentuk penghinaan terhadap korban. Artinya pelaku memandang bahwa ia boleh berlaku apa saja pada korban tanpa khawatir mendapat hukuman. Bila kita menyederhanakan suatu hal maka hal tersebut dapat menjadi besar. Pelaku akan merasa di atas angin dan dapat berbuat lebih karena merasa dilindungi oleh budaya patriarki dan hukum yang lemah.

Sudah seharusnya kita bersama-sama mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan kampus. Laki-laki maupun perempuan berhak mengenyam pendidikan dengan rasa nyaman dan aman. Bila negara tidak mau melangkah lebih jauh dan melindungi warganya dari kekerasan seksual, mau sampai kapan korban dibiarkan berjuang sendirian?

Share to

Contact Us

  • 08119450033
  • [email protected]
    • Gedung Menara Duta, Lantai 2.
    • Jl. HR. Rasuna Said, Kav b9, Kuningan, Jakarta Selatan 12910 Indonesia

Girls Leadership Academy © 2020