Mengenal Kekerasan Ekonomi dalam Hubungan

Girls Power, Girls Speak Up

9, August 2020

Badan Pusat Statistik di tahun 2016 melakukan survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (PHPN). Salah satu tujuan mengapa survei ini dilakukan adalah untuk melihat apa-apa saja bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kemudian, salah satu yang ditemukan adalah adanya kekerasan ekonomi. Berdasarkan survei ini, 1 dari 4 atau sebesar 24,5% perempuan telah mengalami kekerasan ekonomi.

Kekerasan ekonomi sendiri adalah kondisi dimana seseorang mendapatkan kontrol dan tekanan atas kemampuannya untuk mengamankan kondisi perekonomian pribadinya. Bentuk kekerasan ini adalah kedua terbanyak dirasakan oleh perempuan, berdasarkan survei BPS di atas.

Beberapa bentuk kekerasan ekonomi (dilansir dari beberapa sumber) diantaranya adalah:

Kontrol ekonomi

Kekerasan ini terjadi ketika seseorang dihalangi akses, pengetahuan, dan otoritasnya dalam pengambilan keputusan terkait persoalan keuangan. Bentuknya, menyembunyikan semua akses ke rekening bank, mengontrol akses korban ke sumber finansial, melacak untuk apa dan kemana saja uang digunakan, dan lain-lain. Terkait kontrol ekonomi, survei PHPN di atas menunjukkan bahwa 5.1% perempuan mengalami kekerasan oleh pasangan dalam bentuk menolak memberikan uang belanja padahal ia memiliki uang.

Sabotase pekerjaan

Kekerasan ini terjadi ketika seseorang dihalangi untuk mendapatkan atau bahkan mempertahankan perkerjaan tertentu. Bentuknya, ikut campur pekerjaan hingga menghambat kinerja pasangan, melakukan intimidasi, menghinakan, bahkan memfitnah seseorang di tempat kerja, menyembunyikan atau merusak sarana yang digunakan untuk bekerja, dan lain-lain.

Pada survei PHPN, 19,5% responden perempuan telah mengalami sabotase pekerjaan dalam bentuk tidak diperbolehkan bekerja oleh pasangan. Bahkan 6% diantaranya, telah mengalami kekerasan ini dalam kurun waktu satu tahun terakhir.

Ekspolitasi ekonomi

Kekerasan ini terjadi ketika seseorang dengan sengaja dihancurkan sumber finansialnya. Misalnya, berjudi dengan menggunakan uang korban, membayar cicilan atau bahkan berutang atas nama korban atau anak. Di survei PHPN, 3,6% responden perempuan mengalami eksplitasi ekonomi dalam bentuk penghasilan/tabungannya diambil oleh pasangan tanpa persetujuannya.

Survei PHPN di atas membagi pelaku kekerasan dalam dua kelompok, yaitu pasangan (suami, pasangan seksual tinggal terpisah, dan pasangan hidup bersama) dan pihak lainnya (orang tua, mertua, paman, kakek, dan lain-lain).

Terkait kekerasan, terutama dalam rumah tangga, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sebenarnya telah memiliki perangkat regulasi yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Melalui UU ini, hak warga Negara (termasuk perempuan) untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari kekerasan telah terlindungi secara konstitusional.

Namun meski demikian, penekanan angka kasus kekerasan tetap membutuhkan interfensi yang lebih, terlebih kasus-kasus kekerasan yang masih terus terjadi. Tentu, kekerasan bukan hanya soal angka. Kekerasan dalam hubungan yang terus terjadi adalah bentuk timpangnya relasi kuasa atas akses dan pengetahuan, yang tentu tidak boleh dilanggengkan.

Share to

Contact Us

  • 08119450033
  • [email protected]
    • Gedung Menara Duta, Lantai 2.
    • Jl. HR. Rasuna Said, Kav b9, Kuningan, Jakarta Selatan 12910 Indonesia

Girls Leadership Academy © 2020