Mitos Dan Fakta Mengenai Kekerasan Seksual

Girls Speak Up

21, July 2020

Ketika kita bicara mengenai kekerasan seksual, kita membutuhkan data untuk memahaminya. Sebab seringkali ada banyak mitos yang beredar di masyarakat yang sayangnya tidak menguntungkan korban. Akibatnya, ketika korban membicarakan kasus kekerasan seksual yang ia alami, ia dituduh berbohong. Padahal kekerasan seksual benar-benar ada dan kasusnya terus meningkat.

Pada artikel sebelumnya, Mengenal Kekeran Seksual, kita telah mempelajari definisi dan klasifikasi mengenai kekerasan seksual. Artikel ini akan menjelaskan kekerasan seksual lebih mendalam.

Pertama mengenai sejarah perjuangan perempuan Indonesia dalam melawan kekerasan seksual. Pemantik perjuangan kaum perempuan di Indonesia adalah Kerusuhan Mei 1998 di mana terjadi kasus perkosaan secara massal dan sistematis terhadap etnis minoritas Tionghoa.

Hal ini membuat kaum perempuan di Indonesia menyatukan diri untuk memperjuangkan keadilan. Akhirnya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan lahir pada Oktober 1998.

Komnas Perempuan dibentuk atas usulan Profesor Saparinah Sadli, guru besar di Universitas Indonesia, kepada presiden BJ Habibie yang menjabat saat itu. Catahu alias Catatan Tahunan mengenai kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pun diterbitkan tiap tahunnya sejak 2003.

Berdasarkan klasifikasinya kekerasan terhadap perempuan terbagi menjadi tiga yaitu ranah personal, ranah komunitas, dan ranah negara. Kita lebih mengenal kekerasan di ranah personal sebagai kekerasan dalam rumah tangga.

Kasus yang paling banyak dilaporkan di peringkat pertama adalah kekerasan fisik dan yang kedua adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat mencapai 2807 kasus dalam satu tahun terakhir.

Hal ini menggugurkan mitos bahwa perempuan hanya mengalami kekerasan seksual di luar rumah saja. Seringkali perempuan disalahkan ketika menjadi korban kekerasan seksual dengan alasan perempuan seharusnya tidak keluar rumah. Padahal, perempuan tidak dijamin aman ketika di dalam rumah. Selama perempuan dianggap tidak setara, maka risiko kekerasan seksual bisa terjadi.

Masih menurut Komnas Perempuan, angka kekerasan terhadap anak perempuan selama beberapa tahun ini menjadi kasus ketiga tertinggi di ranah personal. Dengan jumlah inses sebanyak 822 kasus, pelaku terbanyak adalah ayah dan paman. Ayah kandung tercatat menjadi pelaku dalam 618 kasus sementara ayah tiri atau angkat tercatat dalam 469 kasus.

Di luar keluarga, kekerasan seksual juga terjadi dari pacar. Laporan kekerasan seksual yang dilakukan pacar dalam setahun terakhir mencapai 1320 kasus. Pada ranah komunitas, kekerasan seksual paling banyak dilakukan orang tidak dikenal yaitu mencapai 756 kasus. Posisi kedua pelakunya adalah tetangga yang mencapai 559 kasus dan teman 463 kasus.

Bila kasus kekerasan seksual dilakukan di luar rumah, mitos yang seringkali muncul adalah menyalahkan korban ketika keluar di malam hari. Perempuan dituduh melanggar norma ketika pulang sekolah atau bekerja di malam hari sehingga disalahkan saat menjadi korban kekerasan seksual.

Faktanya menurut survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman, pelecehan seksual paling banyak terjadi di siang hari yaitu 35% disusul sore hari sebanyak 25%.

Komnas Perempuan juga menggarisbawahi bahwa pelaku kekerasan seksual tidak selalu orang dewasa. Berdasarkan Catahu 2020 diketahui bahwa di ranah personal tercatat 129 korban dengan usia lima tahun ke bawah. Sementara di ranah komunitas tercatat 24 korban dan 10 pelaku dengan usia lima tahun ke bawah.

Dalam 3 tahun terakhir tercatat ada 7 per 1 juta anak di bawah usia 18 tahun yang berpotensi melakukan kekerasan seksual. Artinya setiap harinya rata-rata ada dua anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual.

Anak-anak tentu dapat menjadi pelaku karena kekerasan seksual tidak terbatas pada usia. Misalnya membuat candaan yang porno, meniru adegan di film porno dengan menggesekkan kelamin, atau menyentuh paksa bagian tubuh lainnya yang dimaksudkan untuk kegiatan seksual. Walaupun pelakunya anak-anak, perbuatan seksual seperti itu tidak dapat dianggap hanya bercanda atau bermain-main saja. Anak harus diajari sopan santun dan konsep consent (persetujuan).

Perbedaan dari hubungan seksual dengan kekerasan seksual adalah consent alias persetujuan. Mitos yang berkembang di masyarakat adalah korban dianggap menyukai kekerasan seksual yang dilakukan padanya. Apalagi bila kasus kekerasan seksual ini terjadi berulang kali.

Padahal selama korban tidak menyatakan persetujuan untuk terlibat dalam suatu aktivitas seksual maka aktivitas tersebut dianggap sebagai kekerasan. Pelaku tidak bisa hanya beranggapan atau menyimpulkan korban mau terlibat karena korban diam.

Diamnya korban terutama dalam kasus perkosaan bukan karena melakukan hubungan badan secara sukarela. Ada yang disebut sebagai tonic immobility alias kelumpuhan di luar kendali.

Saat terjadi kekerasan seksual, korban mengalami kelumpuhan sesaat akibat terlalu takut atau kaget. Hal ini membuat korban tidak dapat bergerak atau berbicara. Inilah yang seringkali menjadi alasan pelaku memaksakan pendapatnya dengan menganggap korban tidak memberontak yang artinya korban mau.

mengenal keerasan seksual

Anggapan salah lainnya mengenai perkosaan terletak pada definisi perkosaan itu sendiri yang diakui hukum Indonesia. Perkosaan didefinisikan sebagai pemaksaan hubungan seksual dengan penetasi penis ke dalam vagina. Padahal ini definisi yang terlalu sempit.

Misalnya ketika kita merujuk kasus perkosaan terhadap Agni (bukan nama sebenarnya) yang terjadi ketika Kuliah Kerja Nyata saat berkuliah di UGM. Selain mengalami tonic immobility, Agni juga dianggap tidak diperkosa karena pelaku menggunakan jari.

Padahal kalau kita melihat definisi perkosaan dalam RUU PKS maupun hukum di negara lain, perkosaan tidak selalu menggunakan penis. Perkosaan juga tidak selalu dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.

Bila menggunakan definisi perkosaan berdasarkan hukum Indonesia maka akan sulit untuk melaporkan kasus yang korbannya adalah laki-laki. Perkosaan bisa dilakukan dengan memasukkan jari maupun benda tumpul baik ke dalam vagina maupun anus.

RUU PKS

Kasus perkosaan dengan menggunakan jari tangan pernah topik yang mendunia. Kasus ini terjadi di Amerika dan pelakunya adalah Brock Turner. Namun karena pelakunya adalah orang yang memiliki pengaruh kuat dan berasal dari keluarga terpandang, korban kalah. Pelaku hanya ditahan selama tiga bulan. Mengenai perkosaan yang korbannya bukan perempuan, kita dapat melihat pada kasus Reynhard Sinaga. Korbannya mencapai 136 orang laki-laki.

Sistem hukum di Indonesia juga belum berpihak kepada korban karena kasus kekerasan seksual yang sulit dibuktikan. Dengan definisi yang sempit dan sudut pandang hukum yang tidak berpihak pada korban maka memerangi kekerasan seksual menjadi sulit.

Ini membuat tidak banyak kasus kekerasan seksual yang berakhir dengan dipenjaranya pelaku. Selama tahun 1997-1999 menurut LBH Apik Jakarta ada 25 kasus perkosaan yang dilaporkan. Ironisnya, hanya 2 kasus yang dipertimbangkan secara hukum oleh pengadilan sebagai kasus perkosaan.

Mitos terakhir yang paling banyak digaungkan publik adalah baju terbuka sebagai alasan pelecehan. Berdasarkan survei pun banyak korban kekerasan seksual di tempat umum memakai pakaian tertutup.

Dalam buku Men Who Rape: The Psychology of The Offender yang ditulis A. Nicholas Groth, perkosaan dilakukan bukan karena pakaian. Pelaku menyerang korban karena menganggap korban rendah. Penelitian juga membuktikan bahwa pelaku kekerasan seksual tidak ingat apa pakaian yang dikenakan korban.

membantu korban kekerasan

Kita semua sama-sama memiliki andil untuk menekan angka kekerasan seksual. Dengan memandang laki-laki dan perempuan setara maka kita dapat meminimalisir kasus kekerasan seksual.

Edukasi seks sejak dini juga penting agar kita memahami mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sudah seharusnya kita berhenti menyalahkan korban dan belajar berempati.

Share to

Contact Us

  • 08119450033
  • [email protected]
    • Gedung Menara Duta, Lantai 2.
    • Jl. HR. Rasuna Said, Kav b9, Kuningan, Jakarta Selatan 12910 Indonesia

Girls Leadership Academy © 2020